Kamis, 29 Juli 2010

..::=:: Serat Primbon Kejawen Kakang Kawah Adhi Ari-ari ::=::..


Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari menjaga si bayi mulai masih berujud janin
hingga sampai akhir hayat. (karya Herjaka HS)

Diantara sembilan saudara yang menyertai kelahiran jabang bayi, Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari adalah yang paling dikenal. Kedua saudara ini selalu disebut pada saat doa permohonan bagi si bayi tersebut, bahkan hingga sampai dewasa, menikah dan sampai menjadi orangtua.

Kakang Kawah. Disebut kakang karena lahir lebih dahulu dari jabang bayi. Kawah adalah banyu kawah. Wujudnya air, fungsinya membasahi dan membuat licin vagina, agar jabang bayi yang akan keluar lewat jalan tersebut dapat lancar, dan kulit bayi yang masih halus sekali tidak luka karenanya. Oleh karena perannya menyiapkan dan membuka jalan untuk kelahiran, maka kemudian banyu kawah tersebut diadakan keberadaannya dan dianggap sebagai saudara tua dari si bayi, dengan sebutan Kakang Kawah. Dalam kehidupan selanjutnya, Kakang Kawah didudukan sebagai kepanjangan Tangan Tuhan yang dapat disambat-sebuti atau dimintai pertolongan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

Yen

Yen kepengin nglungguhi pangkat kang dhuwur luwih prayoga yen dikawiti saka kalungguhane kang endhek dewe. Kawit klawan mengkono ing tembe siro ora disepeleake dening bawahanmu, lan kang utama yaiku sira nuli bisa nglungguhi ing kawicaksanan, adoh saka watak deksura, ananing mung sarwo kebak tepa selira.

Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dengan membaca buku-buku, tetapi yang lebih penting dipelajari ialah pengetahuan tentang dunia, yang hanya diperoleh dengan mempelajari manusia dan segala sesuatu tentang mereka

Lord Chesterfield, "Letters to His Son"

Rabu, 28 Juli 2010

Huruf Jawa



Karya klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab ( bumi Majeti ) ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih Trenggana agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah tersebut.


Raja Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya sampaidi pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan menggantikan kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka. Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman tenteram dan damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi nama Tunggul Wulung.

Raden Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing.

Selanjutnya kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh :
(1) Prabu Andhong,
(2) Sri Andhongwilis,
(3) Prabu Banakeling,
(4) Sri Banagaluh,
(5) Sri Awulangit,
(6) Ratu Tunggul,
(7) Selaraja,
(8) Mundhingwangi,
(9) Mundhigsari,
(10) Jajalsengara,
(11) Gilingwesi,
(12) Sri Prawatasari,
(13) Wanasantun,
(14) Sanasewu,
(15) Raja Tanduran,
(16) Rama Jayarata,
(17) Raja Ketangga,
(18) Raja Umbulsantuin,
(19) Raja Padhangling,
(20) Ratu Prambanan,
(21) Resi Getayu,
(22) Lembu Amiluhur,
(23) Raden Laleyan,
(24) Raden Banjaransari).
Pusat kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.

Pada saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang akhirnya sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di Kerajaan Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.

Cerita Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai berikut :
1. Ajisaka - Aji = Raja ( pegangan raja ) Saka = Pilar
2. Majeti - Ma = Diterima ( keterima ) Jet = Grenjet ( bijaksana ) Ti = Pangesti ( doa khusuk )
Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3. Medang Kamolan - Kamolan = Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama ) pada abad ke. 17.

Sekarang saya akan sedikit bercerita tentang salah satu budaya Jawa. Beberapa waktu yang lalu saya sudah pernah sedikit bercerita tentang budaya Jawa, yaitu penggunaan kata-kata untuk melambangkan bilangan: Candra dan Surya Sengkala. Sekarang saya masih akan bercerita tentang budaya Jawa yang masih ada kaitannya dengan tulis-menulis, yaitu tentang sejarah huruf Jawa atau kadang disebut huruf Hanacaraka dan juga makna filosofisnya. Mengingat panjangnya cerita tentang huruf Jawa ini maka saya akan menulis makna filosofis huruf Jawa di posting selanjutnya. Ada berbagai macam versi tentang riwayat huruf Jawa tersebut, ada yang menyebutkan bahwa yang pertama mencetuskan (mau pakai kata menciptakan ataupun menemukan rasanya tidak pas) huruf Jawa tersebut adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo dari kerajaan Mataram di Yogyakarta tetapi ada juga yang menyebutkan kalau huruf Jawa sebenarnya dikenalkan oleh Aji Saka. Nah, tentang riwayat Aji Saka itu sendiri juga ada beberapa versi karena ada yang mengatakan bahwa Aji Saka sebenarnya adalah seorang ulama dari Mekkah (tidak tahu nama aslinya) dan ada juga yang menyatakan bahwa Aji Saka adalah ksatria asli Jawa.

Karena kebanyakan orang menyatakan bahwa Aji Saka-lah yang mengenalkan huruf Jawa pertama kali maka sekarang saya akan menceritakan salah satu versi sejarah munculnya huruf Jawa yang lumayan populer. Salah satu versi cerita menyatakan bahwa huruf Jawa tersebut sebenarnya menceritakan bagian dari sepenggal kisah perjalanan Aji Saka. Huruf Jawa tersebut menceritakan tentang kesetiaan dua orang pengikut Aji Saka. Kira-kira secara garis besar ceritanya seperti ini (saya yakin ada banyak versi lainnya): Aji Saka adalah seorang pengembara yang terkenal sebagai penakluk seorang raja penuh angkara murka, yaitu Prabu Dewata Cengkar. Dalam mengembara Aji Saka senantiasa diikuti dua orang pengikut setianya (maaf lupa namanya ). Ketika pengembaraan pada suatu tempat Aji Saka meninggalkan senjata pusakanya dan menyuruh salah seorang pengikutnya untuk menjaga senjata pusaka tersebut (ada versi lain yang menyatakan bahwa Aji Saka pergi mengembara dan senjata pusakanya ditinggalkan di keraton untuk dijaga salah seorang pengikutnya). Aji Saka menyuruh sang abdi untuk menjaga senjata pusaka baik-baik dan tidak boleh menyerahkan senjata pusaka tsb selain kepada Aji Saka sendiri. Aji Saka kemudian melanjutkan pengembaraan bersama seorang abdi yang lain hingga pada suatu tempat Aji Saka meminta abdinya yang kedua untuk mengambil senjata pusakanya yang ditinggalkan. Pergilah abdi yang kedua untuk mengambil pusaka, tetapi abdi pertama tidak mau menyerahkan pusaka karena dia memegang teguh perintah Aji Saka (hanya boleh menyerahkan pusaka kepada Aji Saka). Di lain pihak, abdi yang kedua juga bersikeras untuk menunaikan tugas dari Aji Saka untuk mengambil pusaka. Karena kedua orang abdi berusaha menjalankan tugasnya masing-masing maka akhirnya terjadilah pertarungan yang cukup seimbang yang mengakibatkan kematian kedua orang utusan tsb.

Sehingga akhirnya kisah tersebut diabadikan dalam huruf Jawa sebagai berikut:
Ha na ca ra ka –> Hana caraka = Ada utusan
Da ta saw a la –> Data sawala = saling berselisih
Pa dha ja ya nya –> Padha jayanya = sama kuatnya
Ma ga ba tha nga –> Maga bathanga = sama-sama mati/ menjadi bathang (mayat)

"Upadi", Semacam Mencari, Semacam Riang

Upadi artinya semacam mencari. Apakah dengan semacam riang kau nanti akan mencari-cari pemahaman dari halaman-halaman buku ini, tapi tak pah...